Korban Mafia Tanah, Ahli Waris di Kota Pekalongan Ini Ungkap Peran Notaris dan Terduga Pelaku

Seorang ibu dari keluarga ahli waris di Kota Pekalongan mengaku menjadi korban mafia tanah yang melibatkan kontraktor, notaris dan pembeli. Kasunya dari 2015-2024 tidak pernah selesai hingga akhirnya mengadu ke LBH Adhyaksa, Kamis (15/2)

MAJALAHPEKALONGAN.COM, Kota Pekalongan, – Seorang ibu di Kota Pekalongan mengaku menjadi korban mafia tanah. Korban tertipu saat mengurus sertifikat tanah waris di sebuah Kantor Notaris terkenal, kini terduga pelaku saling lempar tanggungjawab.

Bacaan Lainnya

“Awalnya tanah keluarga seluas 5.660 meter persegi dijual ke kontraktor bernama Pak Ghozali namun masih diberikan uang panjar sebesar Rp 100 juta,” ungkap Sri Astutik (52) istri ahli waris, Kamis (15/2/2024).

Belakangan, kata Astutik, tanah tersebut selama empat tahun dari 2015-2018 tidak kunjung dilunasi atau dibayar akhirnya semua ahli waris sepakat mencabut penjualan tanah. Lalu pihak pembeli melapor ke Aparat Penegak Hukum (APH)

Setelah itu dilakukan mediasi oleh APH, lalu muncul tawaran kesepakatan kepada ahli waris agar bersedia dipotong tanahnya seluas 1.300 meter persegi dengan dalih sebagai ganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh pembeli.

“Jadi Pak Ghozali sebagai pembeli mengklaim telah menghabiskan biaya menguruk tanah itu sebesar Rp 500 juta belum termasuk biaya lainnya yang timbul. Padahal beliau itu belum sah jadi pemilik tanah, namun sudah berani bertindak seperti pemilik,” ujar Astutik kepada majalahpekalongan.com.

Kemudian informasi yang ia terima, tanah yang diklaim milik Ghozali itu sebagian juga sudah dijual lagi kepada petinggi BMT Pak ZND, seluas 1300 meter persegi. Padahal tanah tersebut secara hukum kepemilikannya ada di ahli waris.

“Lalu tindaklanjut dari tawaran hasil mediasi, tanah seluas 5.660 atas nama almarhum Kadar dan Karmalah saya bawa ke notaris untuk diseplit jadi tiga sertifikat. Saat itu yang ngurus Abdul Kholiq, beliau itu karyawan sekaligus anak angkat Bu Notaris Laela. Bukti tanda terima ada stempel dan tandatangan Bu Laela,” bebernya.

Namun demikian lagi-lagi keluarga ahli waris jadi objek permainan seperti ketika hendak mengambil tiga sertifikat hasil split hanya ada dua sertifikat yang bisa diambil, satu sertifikat lainnya dikatakan hilang oleh pihak notaris.

“Saya tentu menolak menerima karena hanya dua sertifikat yang bisa diambil, sedangkan satu sertifikat dibilangnya hilang. Ini semua ada permainan apa,” tanya Astutik.

Padahal, lanjut Astutik, proses split itu dari 2018-2022. Jadi tiap kali keluarga ahli waris menanyakan sertifikat yang hilang itu tidak pernah mendapatkan kejelasan. Bahkan akhrnya muncul hal ganjil, luas tanah malah berkurang.

“Sebelum displit luas tanah 5.660, namun setelah dijadikan tiga sertifikat luasnya malah berkurang 206 meter persegi. Adapun tiga tanah itu luasnya 1300, 2077 dan 2077, kalau semuanya dijumlahkan luasnya hanya 5.454 meter persegi. Kemana yang 206 meter persegi lagi,” katannya dengan nada jengkel.

Belum selesai urusan sertifikat hilang dan tanah berkurang, muncul klaim pengajuan tanah dengan luasan yang sama atau 206 meter persegi dari pihak lain yang konon disebut-sebagai tanah tidak bertuan.

“Saya curiga ini bagian dari praktik mafia tanah karena korbannya tetap sama, yakni ahli waris dari almarhum Kadar dan Karmaliyah. Kami akhirnya berupaya untuk menghentikan ini termasuk akhirnya mengadu ke LBH Adhiyaksa,” tukas Astutik.

Sementara itu Direktur LBH Adhiyaksa, Didik Pramono membenarkan adanya aduan masuk berkaitan dengan praktik mafia tanah yang diduga dilakukan oleh sekolompok orang melibatkan kantor notaris ternama.

“Kami sudah mengumpulkan sejumlah barang bukti dan melakukan investigasi yang hasilnya akan kita sampaikan bila para terduga pelaku tidak koperatif untuk menyelesaikan persoalan ini secara baik-baik,” tegasnya. (*)

Pos terkait