Ironi Ketika Mantan Kepala BPN di Batang Jadi Korban Mafia Tanah, Kuasa Hukum Korban Siap Bongkar Para Pelaku yang Terlibat

Tim LBH Garuda Kencana Indonesi (GKI) bersama dua anggota keluarga korban dan Kades Pucut berpose bersama usai mediasi di Polres Batang, Jum’at (12/7).

MAJALAHPEKALONGAN.COM BATANG – Sengketa tanah melibatkan satu keluarga yang berujung laporan polisi terjadi diKecamatan Tersono, Kabupaten Batang. Satu keluarga yang bersiteru yakni Sugiono (92) seorang pensiunan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) melawan keponakan sendiri bernama Sri Santoso.

Perseteruan tersebut bahkan sampai pada gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Batang meski belakangan dicabut lagi dan dilaporkan secara pidana di polres setempat. Di PN Batang kedua belah pihak yang bersiteru sempat menjalani mediasi dan hasilnya buntu.

Zaenal Arifin selaku Kuasa hukum dari Sugiono menyatakan setelah mencabut gugatan perdata di PN Batang, lalu pihaknya kembali melaporkan kasus itu sebagai perkara pidana ke Polres Batang.

“Sudah kami laporkan ke Polres Batang karena ada indikasi dugaan penyerobotan tanah serta penguasaan tanah yang bukan haknya dan pada hari ini tadi sudah dilakukan mediasi namun hasul buntu,” katanya, Jum’at (12/7/2024).

Ia menegaskan bahwa kasus yang menimpa kliennya itu bukanlah soal warisan melainkan ada banyak perbuatan pidana seperti dugaan penyerobotan tanah, pemalsuan surat keterangan lengkap dengan tanda tangan palsu, kemudian peralihan hak melalui jual beli yang tidak sah dan sangat merugikan Sugiono selaku pemilik tanah.

Adapun tanah yang dipermasalahkan berada di Desa Pucut, Kecamatan Tersono seluas 2960 meter persegi dan tanah milik kliennya tersebut belum pernah dijual maupun dipindahtangankan oleh pemilinya yang sah, hal itu dibuktikan dengan Letter C yang belum dicoret dan banyak bukti lainnya.

“Dari kelengkapan bukti yang kami miliki sudah menunjukkan bahwa oknum yang terlibat mengarah kepada keponakan Sugiono. Yang bersangkutan diduga melakukan perbuatan pemalsuan sejumlah dokumen termasuk tanda tangan palsu sehinga melanggar Pasal 236 KUHP Tentang Pemalsuan Surat,” jelasnya.

Zaenal Arifin mengungkap salah satu surat yang dipalsukan adalah surat keterangan jual di mana terdapat kejanggalan seperti tidak menyertakan lokasi di mana objek tanah itu dijual atau percilnya mana dan juga tidak ada saksi yang menyertainya minimal dua orang sehingga menjadikan surat keterangan tersebut cacat hukum.

Kemudian keanehan lainnya dalam surat keterangan jual itu juga tidak ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris yang bisa membuat surat itu menjadi sah secara hukum. Kemudian yang menjadikan cacat formil dari surat keterangan jual palsu itu juga seharusnya ditandatangani sendiri oleh pemiliknya yakni Sugiono.

“Kasus ini pertama kali terbongkar ketika klien kami Pak Sugiono berencana untuk membuat sertifikat tanah miliknya melalui program PTSL, namun mengejutkan karena sertifikat sudah terbit atas nama orang lain yakni Yeni Pujiati dengan nomor yang diubah dari 262 menjadi 105. Setelah dilakukan pelacakan tanah milik klien kami dijual oleh keponakannya yang bernama Sri Santoso sebesar Rp 80 juta berdasarkan berdasarkan surat keterangan jual yang diduga palsu,” urainya.

Awalnya persoalan tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan dengan fasilitasi dari pihak desa namun tidak ada kesepakatan karena masing-masing pihak merasa benar sendiri. Atas dasar itu kemudian Sugiono mengajukan gugatan ke PN Batang. Kemudian pada saat mediasi di Polres Batang pihak BPN menyanggupi ukur ulang dan penyelesaiannya melalui prosedur hukum yang berlaku. (*)

Pos terkait